Sabtu, 21 Mei 2011

dipubilaksikan pada Majalah Sandi-STPN Edisi XXIV-2007.

KEPEMILIKAN TANAH TERSELUBUNG

MERUSAK ADMINISTRASI PERTANAHAN

Oleh: I MADE SUMADRA*)

Kepemilikan tanah terselubung merupakan model kepemilikan tanah yang secara formal diatasnamakan orang lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu. Bentuk perjanjianya ada yang secara lisan dan ada pula yang tertulis yang dibuat dihadapan notaris. Model ini marak dilakukan oleh Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) yang ingin memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia. Selain itu, ada pula yang dilakukan oleh para Spekulan tanah yang hendak memiliki tanah pertanian yang luasnya di atas batas maksimum. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.Tulisan ini lebih fokus kepada kepemilikan tanah terselubung yang dilakukan oleh WNA, mengingat keberadaanya dapat dilihat secara nyata di beberapa daerah.

Hasil penelitian Sanusi (2002:7-11), menunjukkan bahwa di Kota Batam terdapat sekitar 1.692 orang tenaga kerja WNA. Lebih lanjut disebutkan bahwa secara materiil di Kota Batam terdapat banyak WNA yang mempunyai rumah, namun secara yuridis sulit dibuktikan karena adanya pernikahan dibawah tangan dengan seorang Warga Negara Indonesia (WNI). Rumah tersebut dicatat atasnama istri/suaminya yang berstatus WNI. Demikian pula di Provinsi Bali yang menjadi tujuan wisata utama di Indonesia. Secara nyata di beberapa Desa seperti Desa Canggu, Desa Lalanglinggah penulis menemukan beberapa WNA yang meminjam nama seorang WNI untuk memperoleh Hak Milik atas tanah. Selanjutnya antara WNI dan WNA membuat suatu perjanjian dihadapan Notaris yang isinya bahwa WNI tetap mengakui kepemilikan WNA tersebut dan baik dirinya maupun ahli warisnya tidak akan melakukan gugatan apapun terhadap tanah tersebut.

****

Berdasarkan peraturan perundang-undangan, WNA tidak diperkenankan memperoleh Hak Milik atas tanah. Hal ini berdasarkan asas kebangsaan yang dianut oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ditegaskan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (Pasal 9(1)). Ketentuan ini mendapat penerapan lebih lanjut dalam pengaturan Hak Milik sebagai Hak Atas Tanah terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah. Hanya WNI yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah (Pasal 21(1)). Konsekuensinya adalah penguasaan hak atas tanah oleh WNA dibatasi, yakni hanya dimungkinkan diberikan Hak Pakai atau Hak Sewa.

Asas kebangsaan tersebut di atas tidak berarti meniadakan peran WNA dalam pembangunan Nasional. Indonesia sebagai Negara berkembang masih sangat membutuhkan investasi asing. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pesatnya kebutuhan hukum dalam praktek dan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi WNA yang ingin memperoleh hak atas tanah di Indonesia telah dikeluarkan beberapa peraturan, diantaranya PP No. 40 Tahun 1996, PP No. 41 Tahun 1996, dan PMNA/KBPN No. 7 Tahun 1996 Jo.PMNA/KBPN No. 8 Tahun 1996. Peraturan-peraturan tersebut merupakan kebijakan Pemerintah dalam melaksanakan amanat UUPA yang memperkenankan WNA yang berkedudukan di Indonesia untuk memperoleh tanah dengan status Hak Pakai.

*****

Berdasarkan uraian di atas, tampaknya lembaga Hak Pakai kurang populer di masyarakat dan sangat tidak diminati oleh WNA walaupun dengan beragam alasan. WNA justru mencari celah agar memperoleh Hak Milik atas tanah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah praktek demikian dapat menguntungkan semua pihak sehingga harus direspon positif? (mengingat secara sosial diterima dimasyarakat) dan bagaimana dampaknya terhadap Administrasi Pertanahan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, terlebih dahulu yang perlu dikaji adalah perjanjian yang dibuat antara WNA dan WNI. Perjanjian demikian tidak dapat dibenarkan dan tidak sah, karena:

Pertama perjanjian demikian tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak dalam KUHPdt. Alasannya karena asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Perjanjian demikian sudah jelas dilarang oleh Undang-Undang karena melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUPA.

Kedua perjanjian tersebut tidak sah karena melanggar ketentuan Pasal 1320 KUHPdt. yakni tidak memenuhi suatu sebab yang halal. Perjanjian demikian bermaksud menyelundupkan ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUPA. Syarat ini merupakan syarat obyektif karena mengenai sesuatu yang menjadi obyek perjanjian. Akibat hukumnya adalah batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.

Dengan demikian, perjanjian tersebut masih menempatkan WNA pada posisi yang lemah. Selain itu, biasanya untuk mengamankan kepemilikan tanahnya, sertipikat yang atas WNI tersebut dipegang langsung oleh WNA. Hal ini pun mempunyai potensi konflik yang sangat besar karena WNA dapat dituduh melakukan tindakan kriminal menyembunyikan sertipikat orang lain. Akhirnya hanya kejujuran WNI-lah yang diharapkan.

Selanjutnya bagi WNI, sekilas tampak menguntungkan karena WNI yang dipinjam namanya biasanya sekaligus diberi kepercayaan mengelola usaha WNA tersebut. Dengan demikian WNI dapat menambah pendapatanya. Apabila ditelusuri lebih jauh, sesungguhnya WNI sangat dirugikan. WNI tidak mempunyai investasi jangka panjang dan akan selalu tunduk kepada kehendak WNA, sehingga tidak dapat menjadi tuan di Negeri sendiri.

Dilihat dari pendapatan Negara, akibat praktek demikian Negara sangat dirugikan. Padahal apabila lembaga Hak Pakai benar-benar diterapkan, maka selain proses pemberian hak, berikutnya akan muncul pula proses perpanjangan dan pembaruan hak yang dapat menambah uang pemasukan ke kas Negara.

Dilihat dari kepentingan Negara, di Indonesia menganut konsep Hak Menguasai Negara. Negara bukan pemilik tanah, tetapi dalam kedudukanya sebagai personifikasi rakyat/bangsa Indonesia, Negara mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu. Dalam rangka melaksanakan kewenangannya, Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan. Pada praktek demikian, jelaslah kiranya Negara sangat sulit untuk melaksanakan kewenangannya karena kepemilikan tanah tersebut terdaftar atas nama bukan pemilik sebenarnya, sehingga hukum formal tidak mampu mendeteksinya kecuali disengketakan di Pengadilan.

Kepemilikan tanah terselubung yang dilakukan oleh WNA tersebut di atas, dapat dikatakan merusak administrasi pertanahan. Berdasarkan Hukum Tanah Nasional yang berhak atas tanah adalah orang yang namanya terdaftar di Kantor Pertanahan atau yang tertera pada sertipikat. Administrasi pertanahan akan menjadi rancu karena adanya perbedaan antara kebenaran formal (dejure) dengan kebenaran materiil (de facto) terhadap hak milik atas tanah. Hal ini akan berpotensi menimbulkan masalah baru bagi peralihan hak selanjutnya baik karena perbuatan hukum maupun karena pewarisan. Walaupun dewasa ini sering dijumpai administrasi mampu mengalahkan prinsip yang sebenarnya, namun pada praktek kepemilikan tanah terselubung oleh WNA ini tetap menjadi bom waktu yang suatu saat masalahnya siap meledak seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat dan terkikisnya nilai-nilai kejujuran.

Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk mengamankan tertib administrasi pertanahan adalah semua pihak harus turut berupaya menghentikan kepemilikan tanah terselubung yang akhir-akhir ini marak terjadi.

*) Mahasiswa Program Magister Manajemen Sektor Publik Agraria-IPB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar