Minggu, 04 Januari 2015


Pengembalian batas

PENGEMBALIAN BATAS Kegiatan pengembalian batas adalah mendudukan kembali batas-batas bidang tanah berdasarkan data yang tertera pada Gambar Ukur. Inilah dasar mengapa setiap hasil pengukuran bidang tanah harus memenuhi unsur-unsur: 1. dapat digambar/dipetakan 2. dapat dihitung luasnya 3. dapat di rekonstruksi ulang/ dikembalikan batasnya. Untuk melakukan pengembalian batas, maka selain data pada gambar ukur yang memenuhi kaidah teknis, harus pula dipastikan di lapangan masih terdapat titik pengikatan. Masalah-masalah yang timbul pada saat pengembalian batas: 1. Gambar ukur tidak ditemukan 2. Data dalam Gambar Ukur tidak memenuhi kaidah teknis 3. Kekeliruan data Biasanya pengajuan pengembalian batas dilakukan karena ada masalah batas. MIsalnya Tuan B mengajukan pengembalian batas bidang tanah pada batas sebelah barat. Mengapa???? Kondisi di lapangan Posisi tanah tegak lurus Gambar disertipikat Miring Tuan B selama ini tidak mempunyai masalah batas dengan tuan A. Namun ketika dia membaca peta, dia mengetahui sebagian tanah A masuk dalam sertipikatnya. Oleh karena itu, tuan B mengajukan permohonan pengembalian batas. Motifnya adalah serakah. Ingin agar BPN memasang patok sesuai dengan data pada sertipikat, karena tanah sangat bernilai. Oleh karena itu, pengembalian batas dilakukan tidak hanya mendudukan batas sesuai gambar, tetapi juga melakukan penelitian. Disini dibutuhkan kecerdasan dari petugas ukur dalam mengambil keputusan. Jika hal ini menemukan perdamaian, maka dilakukan pengukuran ulang, sehingga dilakukan perbaikan pada Gambar Ukur dan Surat Ukur.

Rabu, 24 Juli 2013

Sabtu, 21 Mei 2011

Dimuat pada harian Kendari Pos edisi kamis, 29 Maret 2007.

REFORMA AGRARIA
MEMPERKUAT POSISI TAWAR PETANI MISKIN
Mungkinkah???

Oleh: I Made Sumadra

Dalam sejarah perkembangan Bangsa Indonesia menunjukkan bahwa petani selalu berada pada posisi yang lemah, tak berdaya, selalu nrimo dan pasrah dengan nasib. Bahkan seringkali petani menjadi obyek pemerasan, dieksploitasi tenaganya terutama pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah. Pada masa pra kolonial dengan sistem feodal, petani diberi identitas sebagai “wong cilik” atau masyarakat kelas bawah yang harus tunduk kepada kehendak raja/ kaum priyayi. Pada jaman kolonial lebih parah lagi, petani dibebankan dengan sewa tanah dan tanam paksa yang sangat memberatkan dan menyengsarakan kehidupannya. Demikian juga lahirnya Agrariche Wet 1870 yang mengawali masa liberal telah mengarahkan masyarakat petani menjadi buruh tani pada perkebunan swasta dengan upah yang minim. Serangkaian politik agraria yang diterapkan itu hanya menambah kemiskinan dan penderitaan petani.

Pada masa kolonial memang pernah ada gagasan untuk merubah nasib petani yang dikenal dengan politik ethis. Substansi dari politik ethis ini adalah melindungi petani dari persaingan tak seimbang dari usaha perkebunan besar, mendorong perkembangan ekonomi pribumi dan menjadikan negara jajahan sebagai pasar bagi produk negara induk. Bentuk program yang dikembangkan adalah irigasi, reboisasi, sistem kredit, kesehatan, pendidikan dan transmigrasi. Namun karena beberapa faktor, politik ethis ini dinyatakan gagal. Demikian juga pada masa awal kemerdekaan, pemerintahan Soekarno telah melakukan upaya-upaya merombak sistem yang telah menyengasarakan kaum tani dengan memancangkan pondasi ideologi populis yang melahirkan UUPA 1960. Namun sayang dalam perkembangan selanjutnya UUPA kurang bernasib baik. Ketika pemerintahan beralih pada tahun 1966, pemerintahan yang baru (Orde Baru) mengambil kebijakan ekonomi yang sangat berbeda, bahkan bertolak belakang. Strategi pembangunan yang diterapkan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dimana investasi modal menjadi motor penggerak utamanya. Pondasi yang telah dirintis dan dipancangkan oleh pemerintahan Soekarno dibongkar dan diganti dengan gagasan-gagasan kapitalisme hingga melahirkan masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah yang kian memprihatinkan.

Pada tahun 1983 persentase petani yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar (petani gurem) mencapai 40,8 %. Sepuluh tahun kemudian (1993), persentase ini meningkat menjadi 48,5 %, dan Sensus Pertanian tahun 2003 memperlihatkan jumlah petani gurem meningkat, yaitu mencapai 56,5 % dari seluruh keluarga petani di Indonesia. Hal ini merupakan peningkatan yang cepat terutama di Pulau Jawa. Sementara itu, jumlah rumah tangga petani dalam 10 tahun terakhir juga mengalami peningkatan dari 20,8 juta keluarga menjadi 25,6 juta. Kenyataan ini apabila dikompilasi secara agregat ternyata terdapat sekitar 70% petani yang hanya menguasai 13 % lahan, sementara yang 30 % justru menguasai 87 % lahan yang ada (Achmad Ya’kub dalam Sugiyanto, 2007). Hal ini berarti bahwa terdapat 30% petani berpredikat sebagai tuan tanah, sementara sisanya sebanyak 70% merupakan petani miskin yang menggantungkan hidupnya kepada tuan tanah.

Dalam hubungan agraria, seperti sistem pengupahan (wages system), sistem sewa (rental system), maupun sestem bagi hasil (sharecropping), petani miskin tidak mempunyai posisi tawar yang memadai sehingga selalu berada pada pihak yang dirugikan. Namun demikian, begitu pentingnya tuan tanah bagi kehidupan petani miskin, seringpula petani miskin memberikan loyalitas dan kepatuhan kepada tuan tanah. Hal inilah yang mengakibatkan tuan tanah tidak hanya mempunyai kekuatan ekonomi tetapi juga kekuatan politik dan status sosial yang tinggi. Akhirnya terjadilah hubungan yang tidak seimbang antara petani miskin yang telah menggunakan tenaganya secara langsung dalam produksi dengan tuan tanah yang tidak terlibat secara langsung dalam produksi tetapi mengklaim sebagain hasil produksi karena penguasaannya atas tanah.

Permasalahan ini menjadi kian rumit karena terus berimplikasi pada semakin meningkatnya laju angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data Biro Pusat Statistika, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada akhir bulan Maret tahun 2006 sekitar 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 % dari penduduk sebesar 218,70 juta jiwa. Dan dari jumlah tersebut, sebanyak 63,41% penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Angka ini dengan menggunakan indikator bahwa konsumsi per kapita kurang dari 2.100 kalori per hari. Tentu angkanya akan semakin membengkak jika menggunakan kriteria Bank Dunia, yakni penghasilan penduduk di bawah US $ 2,- per hari.

Oleh karena itu, persoalan yang harus dijawab adalah bagaimana upaya untuk mewujudkan hubungan yang seimbang antara tuan tanah dan petani miskin? Pemerintahan saat ini telah mengumumkan akan melaksanakan Reforma Agraria (selanjutnya disingkat RA). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui pidato politiknya tanggal 31 Januari 2007 mempertegas komitmennya untuk melaksanakan RA. Tanah yang dialokasikan bagi rakyat miskin berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan di Indonesia boleh diperuntukan bagi kepentingan rakyat. Presiden menyebutnya sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 12/2/2007). Sementara jajaran di bawahnya, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Joyo Winoto, pada setiap kesempatan selalu mensosialisasikan program ini. Dikatakannya bahwa RA sudah mendesak dilaksanakan untuk menekan laju kemiskinan yang makin mengkuatirkan. Program ini akan mencakup pembagian lahan seluas 8,15 juta hektar atau 114 kali singapura bagi sekitar 4 juta keluarga (Tempo, 10 Desember 2006).

Pada sisi lain, RA yang didambakan oleh petani sebagaimana dikemukakan oleh Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) adalah RA sejati. RA sejati diartikan sebagai upaya membongkar dan menata ulang struktur agraria yang timpang, eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi kepada keadilan agraria (Sugiyanto, 2007). Berdasarkan definisi itu, tampaknya model RA yang diinginkan adalah RA radikal yaitu tanah-tanah kelebihan dari tuan tanah diambil alih oleh negara melalui pemberian ganti kerugian selanjutnya didistribusikan kepada petani miskin. Mungkinkah hal ini dapat diwujudkan dalam kondisi Bangsa seperti sekarang ini? Risiko yang mungkin akan timbul bila model ini diterapkan adalah gejolak sosial yang tak terhindarkan. Hal ini karena tuan tanah mempunyai kekuatan politik, ekonomi, dan status sosial yang cukup besar untuk mempertahankan status quo. Persoalan lain yang juga akan dihadapi adalah sulitnya mengidentifikasi objek RA, khususnya tanah absentee dan tanah kelebihan dari batas maksimum kepemilikan tanah. Hal ini terkait dengan sistem kependudukan di suatu wilayah yang belum sempurna sehingga seseorang dapat dengan mudah mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) pada beberapa wilayah sekaligus, yang berarti pula dapat dengan mudah memanipulasi data kepemilikan tanah. Bentuk manipulasi lain yang menyebabkan lemahnya data pertanahan adalah praktek penyelundupan hukum. Artinya, untuk menghindari ketentuan pembatasan kepemilikan tanah pertanian, seseorang mendaftarkan sebagian hak atas tanahnya bukan atas namanya sendiri melainkan meminjam nama orang lain melalui perjanjian baik secara lisan maupun tertulis. Model kepemilikan terselubung ini akan sangat sulit dideteksi karena tercatat atas nama bukan pemilik sebenarnya. Di sini terdapat perbedaan antara kebenaran formal (dejure) dengan kebenaran materiel (defacto) kepemilikan atas tanah.

Dengan demikian, langkah pemerintah yang mengalokasikan tanah bagi petani miskin berasal dari hutan konversi dan tanah lain sebagaimana disebutkan di atas cukup beralasan. Artinya pemerintah berupaya menghindari risiko terburuk yang mungkin terjadi dengan cara melaksanakan RA tanpa transformasi sosial. Sasarannya adalah untuk meningkatkan posisi tawar petani. Untuk mewujudkan hal ini RA tidaklah sekedar proyek bagi-bagi tanah karena yang memberikan kemakmuran bukanlah tanah melainkan kegiatan yang dilaksanakan pada tanah itu. Terbukti sejak UUPA 1960 diundangkan, Indonesia telah melaksanakan redistribusi tanah seluas 1,15 juta Ha, namun penerima tanah hidupnya tidak menjadi lebih sejahtera. Hal ini karena penerima tanah tidak mempunyai akses ke finansial, usaha, pasar, hingga teknologi pertanian, sehingga tanah tidak dapat difungsikan sebagaimanamestinya. Oleh karena itu, gagasan untuk melaksanakan RA dengan definisi sebagai landreform plus acces reform patut didukung. Acces reform inilah yang selama ini sering dilupakan. Sugiyanto (2007) menguraikan setidaknya ada 3 (tiga) unsur dari access reform ini, yaitu: capital reform, skill reform dan market reform. Dalam konteks seperti ini, maka implementasi RA akan melibatkan banyak pihak dan berbagai Departemen sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Lalu yang patut direnungkan adalah bagaimana dengan egoisme sektoral yang sering terjadi selama ini??? Tentunya semua pihak perlu menyadari bahwa RA merupakan agenda mulia yang harus dilaksanakan secara holistik, komprehensif, dan terintegrasi.

Penulis adalah Mahasiswa Magister Manajemen
Sektor Publik Agraria-IPB

KM di BPN

dipubilaksikan pada Majalah Sandi-STPN Edisi XXV-2007



PENERAPAN KNOWLEDGE MANAGEMENT
DI LINGKUNGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL
Dimulai dari Lembaga Pendidikan, Penelitian dan Pelatihan

Oleh: I Made Sumadra


Badan Pertanahan Nasional (BPN), bila dipandang sebagai sebuah organisasi, merupakan kesatuan sosial (social entity) dengan batas-batas yang relatif dapat diidentifikasikan dan dapat dikendalikan secara sadar pada satu arah yang konsisten. Sebagai suatu kesatuan sosial BPN terdiri dari kelompok orang dengan sifat dan perilaku yang berbeda-beda, berinteraksi, saling mempengaruhi dan mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya.
Sebagai suatu lembaga publik yang memberikan pelayanan kepada masyarakat, keluaran (output) yang dihasilkan oleh BPN adalah jasa untuk masyarakat dengan produknya berupa sertipikat serta bentuk lainnya mengenai pertanahan. Dalam memberikan pelayanan tersebut, masukan (infut), proses dan keluaran (output) BPN adalah perilaku, pengetahuan, dan ketrampilan yang menyatu pada manusia.
Dalam konteks seperti tersebut di atas, maka dua aktor penting dalam pelayanan pertanahan adalah BPN selaku penyedia jasa dan masyarakat selaku pengguna jasa. Masyarakat dapat mengoreksi pelayanan yang telah diberikan oleh BPN agar terjadi proses pembelajaran bagaimana memenuhi keinginan masyarakat. Kualitas pelayanan dan kepuasan masyarakat harus diutamakan mengingat keduanya mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberlangsungan dan berkembangnya misi suatu organisasi.
BPN selaku lembaga publik dewasa ini akan terus mendapatkan tantangan sebagai akibat dari permintaan jasa publik yang terus meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, dan perubahan lingkungan yang terus bertambah. Untuk menghadapi tantangan ini, kesiapan dan kemampuan aparat pertanahan perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kesenjangan antara tuntutan dan harapan masyarakat di satu sisi dengan kemampuan aparat pertanahan dalam melaksanakan fungsi pelayanan di sisi lain. Untuk mengurangi kesenjangan ini, aparat pertanahan harus memiliki kemampuan profesional yang tinggi dan secara terus menerus mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Selain itu, pelaksanaan pelayanaan pertanahan akan berkaitan erat dengan etika dan moral birokrasi publik. Oleh karena itu di dalam pelayanan pertanahan juga harus memiliki semangat kerja yang berorientasi pada pelayanan. Dengan menggunakan etika dalam pelayanan pertanahan, maka sins of service kesalahan dalam pelayanan seperti apatis (apathy), menolak berurusan (brush off), dingin (coldness), memandang rendah (condesclusion), bekerja secara mekanis (robotisme), ketat kepada prosedur (role book), dan pingpong (round a round) tidak dijumpai dalam pelayanan pertanahan.
Namun demikian, sampai saat ini masih terdapat kesan bahwa aparat pertanahan belum mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Kesan yang berkembang adalah pelayanan pertanahan khususnya di dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah terlalu lama, mahal, dan berbelit-belit. Masyarakat banyak yang ’trauma’ berurusan dengan pertanahan. Penilaian ini sungguh mengejutkan, namun harus direspon sebagai suatu masukan dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Untuk menuju perubahan ke arah yang lebih baik, penerapan konsep Knowledge Manajement (KM) menjadi penting. Konsep KM ini meliputi pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi informasi. SDM yang memiliki pengetahuan (knowledge), gagasan (idea), keahlian (skill), serta pengalaman (experience) serta didukung oleh teknologi informasi yang memadai merupakan suatu keharusan agar BPN dapat menjawab tuntutan masyarakat. Keharusan bagi organisasi untuk mengembangkan KM karena seiring dengan tuntutan zaman dimana organisasi berbasis modal sudah harus digantikan oleh organisasi yang berbasis pengetahuan (knowledge based company). BPN dewasa ini tidak bisa hanya bertumpu pada banyaknya modal fisik dan besarnya kewenangan tetapi modal yang paling penting adalah modal intelektual.
Pertanyaannya adalah bagaimana penerapan KM di lingkungan BPN agar mampu menjawab tuntutan masyarakat dewasa ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis berasumsi bahwa tiga lembaga di lingkungan BPN harus menjadi kunci utama di dalam implementasi KM. Ketiga lembaga tersebut adalah Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang), dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat).
Ketiga lembaga ini harus mampu tampil sebagai pencetak eksplisit konowledge yang dipublikasikan dan dapat dimanfaatkan oleh aparat pelaksana pertanahan di lapangan. Hal ini sangat penting karena dari ketiga lembaga inilah seluruh aparat pertanahan ’mengawaki’ organisasi BPN dibentuk. STPN merupakan satu-satunya lembaga pendidikan tinggi kedinasan di lingkungan BPN. Sebagaimana perguruan tinggi lainnya, STPN juga melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. STPN mempunyai modal intelektual yang terus menerus dapat dikembangkan, masih memiliki kredibilitas dan masih mempunyai jaringan-jaringan yang luas.
Sebagai suatu masyarakat pengetahuan (knowledge society), kompetensi inti (core competence) STPN adalah pada staf pengajar dan mahasiswanya sebagai satu kesatuan modal intelektual sehingga kinerja (performance) STPN ditentukan oleh kualitas staf pengajar dan mahasiswanya. Untuk itu, di dalam menerapkan KM, pertama-tama harus dilakukan identifikasi pengetahuan yang ada baik tacid maupun eksplisit sehingga dapat diketahui pengetahuan dalam organisasi dan proses-proses atau kebiasaan yang terkait dengan pengelolaan pengetahuan. Modal intelektual yang melekat pada setiap individu-individu staf pengajar harus diformulasikan menjadi modal intelektual bersama milik STPN. Selain itu, sebagai lembaga pendidikan yang juga mengemban tugas penelitian, STPN berkewajiban untuk melakukan pencarian pengetahuan baru di bidang pertanahan yang selanjutnya disosialisasikan melalui jaringan-jaringan yang telah dimiliki. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi infrastruktur yang ada misalnya perpustakaan, intranet, media komunikasi internal, email, forum diskusi, digital library, dan lain-lain. STPN perlu mempunyai fasilitas untuk berbagi pengetahuan (knowledge exchange) yang memungkinkan tumbuh suburnya diskusi. Hal ini merupakan salah satu sarana bagaimana pengetahuan itu dibagi.
Selanjutnya implementasi KM pada lembaga Puslitbang di BPN pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga penelitian lainnya, seperti LIPI. Riset merupakan bagian dari upaya akademik untuk menemukan solusi ilmiah bagi persoalan persoalan manusia atau proses penciptaan pengetahuan baru. Tingkat perkembangan dari masing-masing bidang penelitian, antara lain ditentukan oleh jumlah hasil penelitian, paten yang dihasilkan, publikasi ilmiah yang dihasilkan baik tingkat nasional, regional dan internasional, produk-produk baru atau proses baru dan sebagainya. Selanjutnya hasil tersebut harus dapat diserap oleh pengguna melalui teknologi informasi yang berkembang dewasa ini. Pengembangan infrastruktur informatika dan telekomunikasi (telematika) dewasa ini mengandung keyakinan terhadap potensi teknologi informasi untuk mendukung komunikasi ilmiah (scientific communication). Infratruktur ini diharapkan untuk menciptakan pola baru yang lebih efektif – efisien terutama dalam hal tukar-menukar informasi atau pengetahuan dalam memecahkan masalah dalam suatu penelitian, penyimpanan dan penemuan kembali (storage and retrieval) informasi atau pengetahuan ilmiah.
Selanjutnya lembaga Pusdiklat BPN dapat dijadikan sebagai fasilitas untuk berbagi pengetahuan (knowledge exchange). Di sini perlu ditumbuhkembangkan diskusi untuk berbagi pengetahuan serta sekaligus untuk menangkap pengetahuan yang sifatnya tacit yang ada pada instruktur maupun pada peserta diklat yang mempunyai pengalaman beragam. Lembaga ini sangat penting sebagai tempat aktifitas-aktifitas bagi proses penciptaan pengetahuan dan inovasi yang meliputi knowledge exchange, knowledge capture, knowledge reuse, dan knowledge internalization.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tiga lembaga di BPN, yakni STPN, Puslitbang, dan Pusdiklat menjadi kunci utama di dalam penerapan KM di lingkungan BPN. Ketiga lembaga ini berperan di dalam penciptaan pengetahuan dalam arti mulai dari menggali tacit knowledge maupun explisit knowledge yang kemudian melakukan exchange sehingga dapat digunakan di dalam meningkatkan mutu pelayanan pertanahan. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah ketiga lembaga ini mendapatkan perhatian yang layak agar dapat mewujudkan peran sesuai dengan harapan.

kepemilikan tanah terselubung

dipubilaksikan pada Majalah Sandi-STPN Edisi XXIV-2007.

KEPEMILIKAN TANAH TERSELUBUNG
MERUSAK ADMINISTRASI PERTANAHAN

Oleh: I MADE SUMADRA*)

Kepemilikan tanah terselubung merupakan model kepemilikan tanah yang secara formal diatasnamakan orang lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu. Bentuk perjanjianya ada yang secara lisan dan ada pula yang tertulis yang dibuat dihadapan notaris. Model ini marak dilakukan oleh Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) yang ingin memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia. Selain itu, ada pula yang dilakukan oleh para Spekulan tanah yang hendak memiliki tanah pertanian yang luasnya di atas batas maksimum. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.Tulisan ini lebih fokus kepada kepemilikan tanah terselubung yang dilakukan oleh WNA, mengingat keberadaanya dapat dilihat secara nyata di beberapa daerah.

Hasil penelitian Sanusi (2002:7-11), menunjukkan bahwa di Kota Batam terdapat sekitar 1.692 orang tenaga kerja WNA. Lebih lanjut disebutkan bahwa secara materiil di Kota Batam terdapat banyak WNA yang mempunyai rumah, namun secara yuridis sulit dibuktikan karena adanya pernikahan dibawah tangan dengan seorang Warga Negara Indonesia (WNI). Rumah tersebut dicatat atasnama istri/suaminya yang berstatus WNI. Demikian pula di Provinsi Bali yang menjadi tujuan wisata utama di Indonesia. Secara nyata di beberapa Desa seperti Desa Canggu, Desa Lalanglinggah penulis menemukan beberapa WNA yang meminjam nama seorang WNI untuk memperoleh Hak Milik atas tanah. Selanjutnya antara WNI dan WNA membuat suatu perjanjian dihadapan Notaris yang isinya bahwa WNI tetap mengakui kepemilikan WNA tersebut dan baik dirinya maupun ahli warisnya tidak akan melakukan gugatan apapun terhadap tanah tersebut.
****
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, WNA tidak diperkenankan memperoleh Hak Milik atas tanah. Hal ini berdasarkan asas kebangsaan yang dianut oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ditegaskan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (Pasal 9(1)). Ketentuan ini mendapat penerapan lebih lanjut dalam pengaturan Hak Milik sebagai Hak Atas Tanah terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah. Hanya WNI yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah (Pasal 21(1)). Konsekuensinya adalah penguasaan hak atas tanah oleh WNA dibatasi, yakni hanya dimungkinkan diberikan Hak Pakai atau Hak Sewa.

Asas kebangsaan tersebut di atas tidak berarti meniadakan peran WNA dalam pembangunan Nasional. Indonesia sebagai Negara berkembang masih sangat membutuhkan investasi asing. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pesatnya kebutuhan hukum dalam praktek dan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi WNA yang ingin memperoleh hak atas tanah di Indonesia telah dikeluarkan beberapa peraturan, diantaranya PP No. 40 Tahun 1996, PP No. 41 Tahun 1996, dan PMNA/KBPN No. 7 Tahun 1996 Jo.PMNA/KBPN No. 8 Tahun 1996. Peraturan-peraturan tersebut merupakan kebijakan Pemerintah dalam melaksanakan amanat UUPA yang memperkenankan WNA yang berkedudukan di Indonesia untuk memperoleh tanah dengan status Hak Pakai.
*****


Berdasarkan uraian di atas, tampaknya lembaga Hak Pakai kurang populer di masyarakat dan sangat tidak diminati oleh WNA walaupun dengan beragam alasan. WNA justru mencari celah agar memperoleh Hak Milik atas tanah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah praktek demikian dapat menguntungkan semua pihak sehingga harus direspon positif? (mengingat secara sosial diterima dimasyarakat) dan bagaimana dampaknya terhadap Administrasi Pertanahan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, terlebih dahulu yang perlu dikaji adalah perjanjian yang dibuat antara WNA dan WNI. Perjanjian demikian tidak dapat dibenarkan dan tidak sah, karena:
Pertama perjanjian demikian tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak dalam KUHPdt. Alasannya karena asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Perjanjian demikian sudah jelas dilarang oleh Undang-Undang karena melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUPA.
Kedua perjanjian tersebut tidak sah karena melanggar ketentuan Pasal 1320 KUHPdt. yakni tidak memenuhi suatu sebab yang halal. Perjanjian demikian bermaksud menyelundupkan ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUPA. Syarat ini merupakan syarat obyektif karena mengenai sesuatu yang menjadi obyek perjanjian. Akibat hukumnya adalah batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.
Dengan demikian, perjanjian tersebut masih menempatkan WNA pada posisi yang lemah. Selain itu, biasanya untuk mengamankan kepemilikan tanahnya, sertipikat yang atas WNI tersebut dipegang langsung oleh WNA. Hal ini pun mempunyai potensi konflik yang sangat besar karena WNA dapat dituduh melakukan tindakan kriminal menyembunyikan sertipikat orang lain. Akhirnya hanya kejujuran WNI-lah yang diharapkan.

Selanjutnya bagi WNI, sekilas tampak menguntungkan karena WNI yang dipinjam namanya biasanya sekaligus diberi kepercayaan mengelola usaha WNA tersebut. Dengan demikian WNI dapat menambah pendapatanya. Apabila ditelusuri lebih jauh, sesungguhnya WNI sangat dirugikan. WNI tidak mempunyai investasi jangka panjang dan akan selalu tunduk kepada kehendak WNA, sehingga tidak dapat menjadi tuan di Negeri sendiri.

Dilihat dari pendapatan Negara, akibat praktek demikian Negara sangat dirugikan. Padahal apabila lembaga Hak Pakai benar-benar diterapkan, maka selain proses pemberian hak, berikutnya akan muncul pula proses perpanjangan dan pembaruan hak yang dapat menambah uang pemasukan ke kas Negara.

Dilihat dari kepentingan Negara, di Indonesia menganut konsep Hak Menguasai Negara. Negara bukan pemilik tanah, tetapi dalam kedudukanya sebagai personifikasi rakyat/bangsa Indonesia, Negara mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu. Dalam rangka melaksanakan kewenangannya, Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan. Pada praktek demikian, jelaslah kiranya Negara sangat sulit untuk melaksanakan kewenangannya karena kepemilikan tanah tersebut terdaftar atas nama bukan pemilik sebenarnya, sehingga hukum formal tidak mampu mendeteksinya kecuali disengketakan di Pengadilan.

Kepemilikan tanah terselubung yang dilakukan oleh WNA tersebut di atas, dapat dikatakan merusak administrasi pertanahan. Berdasarkan Hukum Tanah Nasional yang berhak atas tanah adalah orang yang namanya terdaftar di Kantor Pertanahan atau yang tertera pada sertipikat. Administrasi pertanahan akan menjadi rancu karena adanya perbedaan antara kebenaran formal (dejure) dengan kebenaran materiil (de facto) terhadap hak milik atas tanah. Hal ini akan berpotensi menimbulkan masalah baru bagi peralihan hak selanjutnya baik karena perbuatan hukum maupun karena pewarisan. Walaupun dewasa ini sering dijumpai administrasi mampu mengalahkan prinsip yang sebenarnya, namun pada praktek kepemilikan tanah terselubung oleh WNA ini tetap menjadi bom waktu yang suatu saat masalahnya siap meledak seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat dan terkikisnya nilai-nilai kejujuran.

Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk mengamankan tertib administrasi pertanahan adalah semua pihak harus turut berupaya menghentikan kepemilikan tanah terselubung yang akhir-akhir ini marak terjadi.

*) Mahasiswa Program Magister Manajemen Sektor Publik Agraria-IPB